2.1.
Pengertian Cyber Law
Cyber Law
adalah hukum yang digunakan di dunia cyber
( dunia maya ) yang umumnya diasosiasikan dengan internet. Cyber Law merupakan aspek hukum yang ruang lingkupnya meliputi
setiap aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atau subyek hukum yang
menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulai pada saat mulai
online dan memasuki dunia cyber atau maya. Cyber
Law sendiri merupakan istilah yang berasal dari Cyberspace Law. Cyber Law
akan memainkan peranannya dalam dunia masa depan, karena nyaris tidak ada lagi
segi kehidupan yang tidak tersentuh oleh keajaiban teknologi dewasa ini dimana
kita perlu sebuah perangkat aturan main didalamnya ( virtual world ).
Cyber Law
merupakan salah satu solusi dalam menangani kejahatan di dunia maya yang kian
meningkat jumlahnya. Cyber Law bukan
saja keharusan, melainkan sudah merupakan suatu kebutuhan untuk menghadapi
kenyataan yang ada sekarang ini, yaitu banyaknya berlangsung kegiatan cyber crime. Tetapi Cyber Law tidak akan terlaksana dengan baik tanpa didukung oleh
sumber daya manusia yang berkualitas dan ahli dalam bidangnya. Tingkat kerugian
yang ditimbulkan dari adanya kejahatan dunia maya ini sangatlah besar dan tidak
dapat dinilai secara pasti berapa tingkat kerugiannya.
Tetapi
perkembangan cyber law di Indonesia
ini belum bisa dikatakan maju. Oleh karena itu, pada tanggal 25 Maret 2008
Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ) mengesahkan Undang - Undang Informasi dan
Transaksi Elektronik ( UU ITE ). UU ITE ini mengatur berbagai perlindungan
hukum atas kegiatan yang memanfaatkan internet sebagai medianya, baik transaksi
maupun pemanfaatan informasinya. Sejak dikeluarkannya UU ITE ini, maka segala
aktivitas didalamnya diatur dalam undang - undang tersebut. Cyber Law ini sudah terlebih dahulu
diterapkan di Negara seperti Amerika Serikat, Eropa, Indonesia, Australia, dan
lain sebagainya.
Perkembangan
Internet dan umumnya dunia cyber
tidak selamanya menghasilkan hal - hal yang postif. Salah satu hal negatif yang
merupakan efek sampingannya antara lain adalah kejahatan di dunia cyber atau cybercrime. Hilangnya batas ruang dan waktu di Internet mengubah
banyak hal. Seseorang cracker di Rusia dapat masuk ke sebuah server di Pentagon
tanpa ijin. Salahkah dia bila sistem di Pentagon terlalu lemah sehingga mudah
ditembus? Apakah batasan dari sebuah cybercrime
? Seorang yang baru “mengetuk pintu” ( port
scanning ) komputer Anda, apakah sudah dapat dikategorikan sebagai
kejahatan ? Apakah ini masih dalam batas ketidaknyamanan ( inconvenience ) saja ? Bagaimana pendapat Anda tentang penyebar
virus dan bahkan pembuat virus ? Bagaimana kita menghadapi cybercrime ini ? Bagaimana aturan / hukum yang cocok untuk
mengatasi atau menanggulangi masalah cybercrime
di Indonesia ? Banyak sekali pertanyaan yang harus Kita jawab.
2.2. Ruang Lingkup Cyber Law
Jonathan
Rosenoer dalam Cyber Law – The Law Of
Internet menyebutkan ruang lingkup cyber
law :
1. Hak Cipta ( Copy Right )
2. Hak Merk ( Trademark )
3. Pencemaran nama baik ( Defamation )
4. Fitnah, Penistaan, Penghinaan ( Hate Speech )
5. Serangan terhadap fasilitas komputer ( Hacking, Viruses, Illegal Access )
6. Pengaturan sumber daya internet seperti
IP-Address, domain name
7. Kenyamanan Individu ( Privacy )
8. Prinsip kehati-hatian ( Duty care )
9. Tindakan kriminal biasa yang menggunakan
TI sebagai alat Isu prosedural seperti yuridiksi, pembuktian, penyelidikan dan
lain-lain.
10.
Kontrak / transaksi elektronik dan tanda tangan digital
11.
Perangkat Hukum Cyber Law
12.
Pornografi
13.
Pencurian melalui Internet
14.
Perlindungan Konsumen
15.
Pemanfaatan internet dalam aktivitas keseharianseperti e- commerce, e-government, e-education
2.3. Perangkat Cyber Law
Pembentukan
Cyber Law tidak lepas dari sinergi
pembuat kebijakan cyber law ( pemerintah
) dan pengguna dunia cyber dalam kaidah memenuhi etika dan kesepakatan bersama.
Agar pembentukan perangkat perundangan tentang teknologi informasi mampu
mengarahkan segala aktivitas dan transaksi didunia cyber sesuai dengan standar
etik dan hukum yang disepakati maka proses pembuatannya diupayakan dengan cara
Menetapkan prinsip – prinsip dan pengembangan teknologi informasi yaitu antara
lain :
1. Melibatkan unsur yang terkait (pemerintah,
swasta, profesional).
2. Menggunakan pendekatan moderat untuk
mensintesiskan prinsip
3. Memperhatikan keunikan dari dunia maya
4. Mendorong adanya kerjasama internasional
mengingat sifat internet yang global
5.
Menempatkan sektor swasta sebagai leader dalam persoalan yang menyangkut
industri dan perdagangan.
6.
Pemerintah harus mengambil peran dan tanggung jawab yang jelas untuk
persoalan yang menyangkut kepentingan publik
7. Aturan hukum yang akan dibentuk tidak
bersifat restriktif melainkan harus direktif dan futuristik
8.
Melakukan pengkajian terhadap perundangan nasional yang memiliki kaitan
langsung maupun tidak langsung dengan munculnya persoalan hukum akibat
transaksi di internet seperti : UU hak cipta, UU merk, UU perlindungan
konsumen, UU Penyiaran dan Telekomunikasi, UU Perseroan Terbatas, UU Penanaman
Modal Asing, UU Perpajakan, Hukum Kontrak, Hukum Pidana dll.
Cyberlaw
tidak akan berhasil jika aspek yurisdiksi hukum diabaikan. Karena pemetaan yang
mengatur cyberspace menyangkut juga hubungan antar kawasan, antar wilayah, dan
antar negara, sehingga penetapan yuridiksi yang jelas mutlak diperlukan. Ada
tiga yurisdiksi yang dapat diterapkan dalam dunia cyber :
1. yurisdiksi legislatif di bidang pengaturan,
2. yurisdiksi judicial, yakni kewenangan
negara untuk mengadili atau menerapkan kewenangan hukumnya,
3. yurisdiksi eksekutif untuk melaksanakan
aturan yang dibuatnya.
2.4. Kebijakan IT di Indonesia
Ada
dua model yang diusulkan oleh Mieke untuk mengatur kegiatan di cyber space,
yaitu :
1. Model ketentuan Payung ( Umbrella
Provisions ), Model ini dapat memuat materi pokok saja dengan memperhatikan
semua kepentingan ( seperti pelaku usaha, konsumen, pemerintah dan pemegak
hukum ) juga keterkaitan hubungan dengan peraturan perundang – undangan.
2. Model Triangle Regulations sebagai
upaya mengantisipasi pesatnya laju kegiatan di cyber space. Upaya yang
menitikberatkan permasalahan prioritas yaitu pengaturan sehubungan transaksi
online, pengaturan sehubungan privacy protection terhadap pelaku bisnis dan
konsumen, pengaturan sehubungan cyber crime yang memuat yuridiksi dan
kompetensi dari badan peradilan terhadap kasus cyber space.
Dalam
moderinisasi hukum pidana, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi dalam seminar cyber
crime 19 maret 2003 mengusulkan alternatif :
1. Menghapus pasal – pasal dalam UU terkait
yang tidak dipakai lagi
2. Mengamandemen KUHP
3. Menyisipkan hasil kajian dalam RUU yang ada
4. Membuat RUU sendiri misalnya RUU Teknologi
Informasi
Upaya
tersebut tampaknya telah dilakukan terbukti dengan mulai disusunnya RUU KUHP
yang baru (konsep tahun 2000).Di samping pembaharuan KHUP di Indonesia juga
telah ditawarkan alternatif menyusun RUU sendiri, antara lain RUU yang disusun
oleh tim dari pusat kajian cyber law UNPAD yang diberi title RUU TI draft III
yang saat ini telah disyahkan menjadi UUITE.
2.5. Perkembangan Cyberlaw di
Indonesia
Inisiatif
untuk membuat “cyberlaw” di Indonesia sudah dimulai sebelum tahun 1999. Fokus
utama waktu itu adalah pada “payung hukum” yang generik dan sedikit mengenai
transaksi elektronik. Pendekatan “payung” ini dilakukan agar ada sebuah basis
yang dapat digunakan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Karena sifatnya
yang generik, diharapkan rancangan undang-undang tersebut cepat diresmikan dan
kita bisa maju ke yang lebih spesifik. Namun pada kenyataannya hal ini tidak
terlaksana.
Namun
ternyata dalam perjalanannya ada beberapa masukan sehingga hal-hal lain pun
masuk ke dalam rancangan “cyberlaw” Indonesia. Beberapa hal yang mungkin masuk
antara lain adalah hal - hal yang terkait dengan kejahatan di dunia maya ( cybercrime
), penyalahgunaan penggunaan komputer, hacking, membocorkan password,
electronic banking, pemanfaatan internet untuk pemerintahan ( e-government )
dan kesehatan, masalah HaKI, penyalahgunaan nama domain, dan masalah privasi.
Penambahan isi disebabkan karena belum ada undang-undang lain yang mengatur hal
ini di Indonesia sehingga ada ide untuk memasukkan semuanya ke dalam satu
rancangan.
Nama
dari RUU ini pun berubah dari Pemanfaatan Teknologi Informasi, ke Transaksi
Elektronik, dan akhirnya menjadi RUU Informasi dan Transaksi Elektronik. Di
luar negeri umumnya materi ini dipecah-pecah menjadi beberapa undang - undang. Ada
satu hal yang menarik mengenai rancangan cyberlaw ini yang terkait dengan
teritori. Misalkan seorang cracker dari sebuah negara Eropa melakukan
pengrusakan terhadap sebuah situs di Indonesia. Dapatkah hukum kita menjangkau
sang penyusup ini? Salah satu pendekatan yang diambil adalah jika akibat dari
aktivitas crackingnya terasa di Indonesia, maka Indonesia berhak mengadili yang
bersangkutan. Apakah kita akan mengejar cracker ini ke luar negeri? Nampaknya
hal ini akan sulit dilakukan mengingat keterbatasan sumber daya yang dimiliki
oleh kita. Yang dapat kita lakukan adalah menangkap cracker ini jika dia
mengunjungi Indonesia. Dengan kata lain, dia kehilangan kesempatan / hak untuk
mengunjungi sebuah tempat di dunia. Pendekatan ini dilakukan oleh Amerika
Serikat.